Tokoh, iKatolik.com – Tahun 2020 merupakan tahun kelima peringatan ensiklik Laudato si dari Paus Fransiskus. Kita akan membahas tentang bagaimana perjuangan Uskup Hubertus Leteng selama menjadi Uskup Ruteng menolak tambang di Manggarai, NTT.
Saat ditahbiskan secara resmi menjadi Uskup Keuskupan Ruteng yang mencakup tiga kabupaten yaitu Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat, pada 14 April 2010, NTT sedang digempur investasi pertambangan.
Sejumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan menyusul diterbitkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Baca Juga: Ayah Islam dan Ibu Katolik, Ibrahimovic Sangat Toleran
Masyarakat yang terhimpun dalam berbagai elemen menolak adanya investasi pertambangan di Manggarai raya karena dinilai merusak ekologi.
Apalagi sebagian besar masyarakat Manggarai adalah petani yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian. Pertambangan dianggap menggusur lahan pertanian warga.
Gereja pun berada bersama masyarakat. Sejak ditabiskan menjadi Uskup, Mgr Hubert tampil untuk menentang pertambangan wilayah Keuskupan Ruteng. Ia bahkan pernah menggelar misa ekologi di lokasi tambang di wilayah Reo.
Baca Juga: Paus Fransiskus: Iblis Berupaya Menghancurkan Gereja Melalui Iri Hati
Tak hanya soal tambang, Uskup Hubert juga berada bersama masyarakat menolak privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo. Ia juga pernah menggelar misa di pantai tersebut.
Pantai Pede adalah salah satu pantai eksotis di kota Labuan Bajo yang menjadi lokasi wisata murah meriah masyarakat.
Namun, Pemerintah Provinsi NTT selaku pemegang hak pakai atas tanah di pantai tersebut menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta.
Baca Juga: Sejarah Bulir pada Rosario yang Wajib Diketahui Umat Katolik
Dalam gerakan sosial menolak tambang dan menolak privatisasi Pantai Pede, Mgr Hubert Leteng dan juga sejumlah imam, berada bersama masyarakat. Tidak hanya menyampaikan seruan moral, tetapi ikut terlibat dalam gerakan.
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng di bawah kepemimpinan Mgr Hubert dengan jelas menunjukkan opsinya untuk menolak tambang.
Opsi ini merupakan amanat dalam Sinode II tahun 2007 dan Sinode III Keuskupan Ruteng sesi I (Januari 2014) dan Sesi III (September 2014) sekaligus suara kritis profetis Gereja terhadap menjamurnya usaha pertambangan di Manggarai Raya.
Baca Juga: Uskup Joseph Zhu Meninggal Setelah Beberapa Bulan Sembuh dari Covid-19
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menilai pertambangan mineral (mangan, emas, pasir besi) mengakibatkan kerusakan ekologis yang mengerikan dan membahayakan kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Pertambangan juga mengakibatkan proses pemiskinan dan pemelaratan yang sistematis dan massif bagi masyarakat.
Pertambangan memicu konflik sosial yang memecahbelahkan masyarakat dan mengobrak-abrik tatanan kebudayaan Manggarai.
Pertambangan memanipulasi hukum adat maupun hukum negara untuk mencaplok hak hakiki masyarakat atas tanah.
Baca Juga: Ini Pesan Bunda Maria pada Lucia dalam Penampakkan di Fatima
Pertambangan mengakibatkan kolaborasi aparat pemerintah, aparat keamanan baik Polri maupun TNI dengan pengusaha tambang untuk mengintimidasi dan menindas warga.
Atas dasar persoalan-persoalan hakiki ini, Gereja Keuskupan Ruteng mulai bergerak untuk mempertahankan keutuhan ciptaan di Tanah Nucalale, Manggarai Raya.
Mgr Hubert bersama para imam, biarawati dan masyarakat juga melakukan aksi besar-besaran di Ruteng. Melakukan ibadat ekologis dan sepanjang rute perjalan mendaraskan doa rosario, koronka, dan nyanyian-nyanyian rohani.
Baca Juga: Paus Meminta Umat Manusia Berpuasa dan Berdoa Bersama pada 14 Mei
Mgr. Hubertus dalam ibadat ekologis, menekankan kewajiban manusia untuk menjaga dan merawat keutuhan ciptaan.
Tambang justru mempersempit ruang gerak, hidup, dan ruang kerja manusia khususnya umat di Keuskupan Ruteng. Beliau menggarisbawahi tiga hal dalam pesannya.
Pertama, jati diri manusia itu lurch. Manusia itu citra Allah. Citra Allah ini akan dirampas dari manusia, jika lingkungan rusak oleh usaha pertambangan.
Kedua, menjaga lingkungan atau tanah adat sama dengan merawat anak cucu kita. Ketiga, mayoritas masyarakat Manggarai adalah petani.
Baca Juga: Beragama Muslim, Nama Anak Pelatih Real Madrid Diambil dari Alkitab
“Langsung atau tidak langsung, orang Manggarai mengusir anak cucunya dari tanah Congka Sae ketika kita memberikan tanah kepada para investor tambang.
Selain itu, kalau tanah beribu-ribu hektar diberikan untuk aktivitas pertambangan, ke mana petani di Manggarai Raya ini akan pergi dan bekerja? Biar dengan mukjizat sekalipun, tanah-tanah itu tidak mungkin normal kembali”, ujar Mgr Hubert pada waktu itu.
Tantangan Mgr Siprianus Hormat
Saat ini, tantangan serupa dialami oleh penerusnya Mgr Siprianus Hormat, Pr. yang ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Ruteng beberapa waktu lalu. Tantangan yang dihadapi Mgr Siprianus adalah wacana tambang batu gamping sudah mulai bergulir dan meresah masyarakat di Manggarai Timur.
Baca Juga: 5 Suster dan 10 Imam Meninggal di New York Akibat Covid-19
Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas disebutkan turut terlibat aktif dalam mendukung kehadiran dua perusahaan pabrik semen PT Istindo Mitra Manggarai dan PT Semen Merah NTT di atas lahan seluas 505 hektar milik warga di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda.
Di tengah maraknya aksi penolakkan pabrik semen dan peringatan lima tahun ensiklik Laudato si Paus Fransiskus yang membahas tentang lingkungan hidup, langkah apa yang akan diambil Mgr Siprianus Hormat? Apakah beliau akan bertindak sama seperti yang dilakukan Mgr Hubert? Mari kita doakan yang terbaik untuk beliau. Amin*
*Disarikan dari berbagai sumber