Opini, iKatolik.com – “Aku membawakan kepadamu pelukan hangat Paus Fransiskus. Anda tidak tidak sendirian melawan virus Covid-19 ini”.
Kalimat singkat dan penuh makna tersebut disampaikan oleh Kardinal Peter Turkson kepada tenaga medis serta pasien virus Covid-19 di rumah sakit Gemelli, Roma beberapa waktu lalu.
Dalam kunjungan khusus tersebut, sang Kardinal membawa rosario dari Paus Fransiskus sebagai lambang kehadirannya dalam setiap hati para pasien yang berjuang mati-matian di tengah wabah Covid-19.
Baca Juga: Ini Renungan dan Doa yang Bisa Didaraskan Selama Sabtu Suci
Beberapa waktu sebelumnya, Paus Fransikus memanggil Mgr Franscesco Beschi menghadap. Franscesco adalah Uskup Bergamo, kota kelahiran Paus Yohanes XIII di Italia Utara. Ia merupakan salah satu orang yang sangat terpukul akibat wabah Covid-19.
Setelah bertemu Paus Fransiskus, ada sekitar 28 orang imam yang dirawat usai terjangkit wabah Covid-19 meninggal dunia di Keuskupan Bergamo.
Hingga hari ini, ada setidaknya lebih dari 100 orang imam meninggal di Italia akibar pandemi Covid-19.
Baca Juga: Makna Sabtu Suci Bagi Umat Kristiani
Bukan hanya itu, Uskup Ethiopia juga meninggal bersama dengan dua orang imam di Amerika Serikat. Sementara biarawati di Italia tercatat sudah 6 orang yang meninggal dunia setelah terjangkit wabah Covid-19.
Mereka, imam-imam dan biarawati itu tetap teguh pada kesetiaan sebagai pelayan spiritual umat Katolik sama seperti para tenaga medis.
Sebab, hampir semua dari antara mereka terjangkit virus Covid-19 usai melayani orang-orang menderita di panti jompo, para tunawisma yang tidak memiliki tempat tinggal saat peraturan karantina diberlakukan.
Baca Juga: Mengenal Kafan Turin, Kain yang Dipercaya Pembungkus Jenazah Yesus
Mereka meninggalkan segala kepunyaannya dan memikul salib nyata yang mahaberat bernama wabah Covid-19.
Kepada mereka semua yang meninggal akibat pandemi, Paus Fransiskus menjajikan doa tulusnya dari hati paling dalam. Ia mengutarakan bahwa dirinya turut menanggung penderitaan semua orang di seluruh dunia.
Di tengah arus gelombang besar duka tersebut, Paus bercerita tentang Frater Aquilino Apassiti, seorang imam yang bekerja di Rumah Sakit John XXIII kepada Uskup Bergamo.
Baca Juga: Misa Jumat Agung Vatikan: Salib Telah Mengubah Arti Penderitaan
Semua orang tahu, rumah sakit tersebut merupakan tempat di mana lusinan orang mati setiap hari. Keluarga-keluarga dikarantina, mereka tidak dapat mengunjungi pasien bahkan ketika mereka harus berpisah untuk selama-lamanya.
Paus Fransiskus meminta Uskup Bergamo mendampingi semua orang yang terjangkit wabah Covid-19. Dipenuhi kebutuhan rohaninya apapun yang terjadi. Meski berat, Uskup Bergamo mendapat permintaan langsung dari Bapa Suci untuk tidak meninggalkan umatnya.
Baca Juga: Terharu, Ini Renungan Jalan Salib Para Tahanan di Lapas Italia Utara
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Uskup Bergamo pada saat itu. Di tangannya, ia memegang data bahwa semua imam yang meninggal di Italia Utara termasuk di keuskupannya terjangkit virus Covid-19 saat sedang menjalankan tugas pastoral.
Salib yang mahaberat sedang ditanggungnya. Tetapi, begitulah kita menjadi pengikut Kristus. Harus bersedia menjadi martir dalam kondisi apapun. Namun, apakah kita harus menjadi martir untuk masuk dalam kategori pengikut Kristus yang baik?
Baca Juga: Alasan Penyaliban Menyebabkan Kematian yang Mengerikan
Untuk konteks Indonesia hari ini, menjadi martir sepertinya terlampau jauh untuk diimajinasikan. Bagi umat Katolik yang sedang memasuki Pekan Suci, ada begitu banyak hal yang perlu kita renungkan.
Paus Fransiskus telah memberikan teladan kepada kita semua tentang bagaimana seharusnya bersikap di tengah pandemi virus Covid-19.
Kita masih mengeluh soal mengapa perayaan misa harus dilakukan secara daring, sementara banyak orang terluka karena untuk berkumpul bersama keluarga saja masih susah.
Baca Juga: Orang Suci Pertama China Mati Syahid di Sebuah Salib di Wuhan
Kita masih mengedepankan ego kita tanpa mau mengulurkan tangan kepada orang di sekitar yang membutuhkan bantuan. Kita masih bersikap pragmatis terhadap realitas dengan memborong sembako dan alat-alat kesehatan.
Kita masih belum bisa memberi diri kita menjadi pengikut Kristus yang baik untuk saling melayani, saling menolong dan bersolidaritas kepada petugas medis, para pekerja harian, anak-anak terlantar, lansia dan tunawisma.
Baca Juga: Orang Suci Pertama China Mati Syahid di Sebuah Salib di Wuhan
Kita enggan untuk turut menjadi bagian dari penderitaan Yesus yang disalib. Bagaimana mungkin, kita bisa merayakan pesta Paskah di atas penderitaan orang lain?
Pada akhirnya, mari kita pada masa Paskah ini merefleksikan kembali pesan Paus Fransiskus kepada kita semua, untuk terus berharap, berdoa dan bersolidaritas bersama orang yang menderita akibat virus Covid-19.
Tidak perlu bertindak melalui hal-hal besar, sebab bantuan meski kecil akan sangat berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan.
Baca Juga: Doa Menjadi Kekuatan dalam Pergumulan Yesus di Getsemani
Lebih dari itu, selama virus Covid-19 belum menyebar kemana-mana, mari kita mengikuti himbauan pemerintah atas protokol mitigasi kesehatan yang ada.
Hanya dengan itu, kita bisa menjadi garam dan terang bagi orang lain. Menjadi satu di antara orang baik yang menjadi pahlawan melawan wabah ini.
Sebab, jika kita tidak bisa menjadi garam yang dapat melezatkan makanan. Tolong jangan jadi lalat yang merusak makanan tersebut. Mari tetap jaga jarak dan tetap di rumah. Selamat merayakan Paskah.